Ketika Perang Tak Lagi Butuh Tentara: Sudut Pandang Kampus terhadap Otonomi Drone

Perkembangan teknologi tak pernah berhenti. Salah satu inovasi yang terus menjadi perhatian dunia adalah drone, atau yang lebih formal disebut pesawat tanpa awak. Awalnya, drone digunakan untuk keperluan fotografi atau pengiriman barang. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, peran drone telah masuk ke dunia militer secara intensif. Lebih mencengangkan lagi, kini drone tak hanya dikendalikan dari jauh oleh manusia, tapi juga mampu bergerak dan membuat keputusan sendiri berkat kecerdasan buatan. Di sinilah kita mulai menyentuh isu penting: otonomi drone dalam peperangan.

Ketika sebuah negara mampu meluncurkan serangan udara tanpa mengirimkan satu pun prajurit, maka perang berubah wajah. Tentara tak lagi berada di medan tempur, melainkan duduk di ruang kontrol. Atau bahkan, mereka tak lagi ikut campur, karena drone sudah “cukup pintar” untuk bertindak sendiri. Tapi apakah ini sesuatu yang patut dirayakan? Atau justru diwaspadai?

Dari sudut pandang akademisi, terutama kalangan kampus, otonomi drone ini bukan hanya soal teknologi. Ini juga menyentuh aspek etika, hukum, dan kemanusiaan. Beberapa dosen teknologi dan hukum internasional mulai mengajukan pertanyaan yang menggelitik: siapa yang bertanggung jawab jika sebuah drone melakukan serangan yang salah sasaran? Apakah kesalahan ada pada programmer-nya? Pada negara pemiliknya? Atau justru pada sistem kecerdasannya?

Di berbagai universitas, diskusi tentang drone otonom kini menjadi topik interdisipliner. Fakultas Teknik merancang algoritma agar drone bisa mengenali musuh dan kawan. Fakultas Hukum membahas apakah penggunaan drone semacam ini melanggar Konvensi Jenewa. Sementara Fakultas Filsafat bertanya: bolehkah mesin mengambil keputusan tentang hidup dan mati?

Kampus sebagai pusat pengetahuan memiliki peran penting dalam mengarahkan pemanfaatan teknologi agar tetap berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan. Teknologi boleh maju, tapi tetap harus punya hati. Jangan sampai, demi efisiensi perang, kita kehilangan sisi moral kita.

Mahasiswa pun mulai ambil bagian. Mereka tidak hanya belajar membuat drone, tetapi juga aktif dalam forum-forum etika teknologi. Banyak yang berharap bahwa ke depan, teknologi pertahanan harus tetap diawasi dan diaudit. Kampus bahkan mendorong adanya kode etik internasional untuk penggunaan sistem senjata otonom.

Kesimpulannya, ketika perang tak lagi membutuhkan tentara di lapangan, bukan berarti kita boleh berhenti berpikir. Justru sekarang, lebih dari sebelumnya, kita butuh kesadaran kolektif—bahwa teknologi secanggih apa pun tetap harus berada di bawah kendali manusia dan akal sehat. Dunia kampus, dengan segala idealismenya, bisa menjadi penjaga moral di tengah pesatnya laju inovasi.

Komentar